Teologi Kontekstual Pembebasan Lingkungan, Menyeret Agamawan Peduli Lingkungan

AJAK PEMUKA AGAMA - Teolog Lady Mandalika mengajak pemua agama menjadi pelopor menjaga lingkungan di Dodoha, Tentena Jumat 11 November 2022

TIDAK banyak tokoh agama yang mengkhotbahkan tema lingkungan. Nyaris jarang mendengar dan menyaksikan kalangan agamawan mengeritik korporasi perusak lingkungan. Sementara ayat-ayat bertema lingkungan berserakan di kitab-kitab suci di agama manapun. Urusan lingkungan seolah menjadi wilayah tak terjamah kalangan agamawan. Padahal daya rusak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan terhadap umat tak kalah mengerikannya. Industri berbasis lahan, walau menawarkan keuntungan ekonomi saat bersamaan mereka juga menjadi perusak lingkungan. Menumpuk untung dan menciptakan kengerian di atas lingkungan yang dieksploitasi. Maka mendekati isu lingkungan dengan perspektif kitab suci sepertinya ikhtiar yang perlu dicoba. Ini antara lain, benang merah yang mengemuka pada diskusi teologi kontekstual pembebasan lingkungan yang berlangsung di Dodoha, Tentena Jumat 11 November 2022.

”Tidak ada” planet lain untuk manusia, saya pilih bumi, adalah tema yang sengaja dipilih untuk mendorong kalangan agamawan lebih peduli lingkungan. Disksui ini menghadirkan tokoh-tokoh yang relevan untuk membincangkan peran agama dalam perlindungan alam. Di antaranya, Prigi Arisandi peneliti ESN dan Ecoton, Kopernik, Teolog Lady Mandalika dan Pendeta Yombi Wuri. Mahasiswa calon pendeta dari Sekolah Tinggi Teologia Tentena dan jurnalis serta sejumlah pendeta di Tentena menjadi audiensnya.

Teolog Lady Mandalika mengawalinya dengan menukil kisah Keluarga Hosea dalam Kitab Perjanjian Lama, sebagai contoh konkret teks isu lingkungan dalam kitab injil. Ia melanjutkan, alam adalah ciptaan Tuhan yang juga mencerminkan keagungan Tuhan. Gerakan melawan kerusakan lingkungan seperti yang dilakukan oleh komunitas di Poso dan Sumba merupakan bentuk upaya mempertahankan solidaritas dan kekerabatan hidup bersama alam sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Dalam konteks kerusakan lingkungan, menurut dia, komunitas beragama harus terlibat aktif. Misalnya, menghentikan kerusakan lingkungan dengan berbagai aksi maupun gaya hidup ramah lingkungan. Perlu mengembangkan spiritualitas ugahari (sederhana-bersahaja) dan mengembangkan pemahaman iman serta teks kitab suci yang peduli lingkungan. Teologi pembebasan lingkungan dalam tradisi Kristen tambah Lady, bisa dilacak pada Alkitab Perjanjian Lama Mazmur 19 : 2, langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya. Selanjutnya bisa dilihat pada Mazmur pasal 8 ayat 1 – 4, tentang keagungan Allah tercermin dalam ciptaanNya.

DISKUSI – Peserta diskusi menyimak paparan peneliti Ecoton Prigi Arisandi, di Dodoha – Tentena, Jumat 11 November 2022

Pendeta Yombi Wuri tampil berikutnya. Ia menggebrak dengan mengajak audiens memeriksa nalar pemuka lembaga agama di daerahnya. Ada banyak problem warga gereja yang perlu dibela. Namun masalah yang dihadapi umat menguap begitu saja. Nyaris tak pernah ada suara pembelaan dari orotitas gereja. ”Sekadar mengunjungi dan mendoakan umat yang mata pencahariannya rusak oleh perilaku korporasi saja tidak pernah,” ujarnya telak.

Maka ia pun mengajak audiens, khususnya mahasiswa STT Tentena membekali dirinya dengan pengetahuan soal lingkungan yang memadai. Kelak, jika menjadi pemimpin dan panutan umat di gereja, bisa merasakan suasana batin warga gereja yang dirugikan oleh korporasi. Kemudian memberikan mereka penguatan iman – bahkan yang terbaik adalah mengadvokasinya. Namun yang terpenting katanya, tidak ikut-ikutan mengamini kemauan pemodal yang merugikan umat. Diakuinya, ini pekerjaan rumah besar bagi pemimpin umat, menyusun silabus dengan pendekatan isu lingkungan yang kuat.

Menurut dia, membekali tokoh agama dengan isu lingkungan sangat mendesak dilakukan saat ini. Eksploitasi alam Danau Poso secara serampangan yang hanya memberhadapkan kekuatan civil society, seperti tokoh adat dan organisasi nonpemerintah melawan kekuatan korporasi tidaklah cukup. Kekuatan kolaborasi semacam itu, perlu diperkuat dengan lembaga berbasis agama. Mantan Wakil Sekretaris GKST ini berharap, sekali kelak tercipta kekuatan kolaboratif antara, tokoh adat, lembaga gereja, organisasi non pemerintah, sehingga tercipta orkestra gerakan advokasi lingkungan yang solid, kokoh dengan daya tekan yang kuat.

Teologi kontekstual pembebasan lingkungan dengan menghadirkan setidaknya delapan pembicara yang terbagi dua sesi, adalah ejawantah Mosikola Teologi yang dikembangkan Mosintuwu Institut. Direktur Mosintuwu Institut, Nerlian Gogali bilang, teologi ini adalah membincangkan peran agama dalam perlindungan lingkungan. Mendorong tokoh agama mengambil bagian dalam penyelamatan lingkungan hidup. Mengajak tokoh agama membicarakan tanah, air dan hutan dalam perspektif agama. ***

Penulis     : Amanda
Foto-foto  : Ray Rarea

 

 

Tinggalkan Balasan