Helpin Samoli: Lebih Baik Pertahankan Tanah daripada Tanaman

TEATER RAKYAT - Helpin Samoli membacakan sinopsis teater rakyat tentang Danau Toju di Festival Mosintuwu, Kamis 11 November 2022

”Saya lebih memilih tanah daripada tanaman. Tanah sekalipun tidak besar, akan memberi kehidupan kepada saya. Sedangkan tanaman jika tidak ada tanah, tidak akan berarti apa-apa”.

PERNYATAAN ini disampaikan Helpin Samoli (61). Dia adalah perempuan asal Desa Tiu Kecamatan Pamona Tenggara. Dia mengatakan itu saat berdiskusi dengan Staf Ahli Kementan, Erik Yessiah Tamalagi, di Dodoha – Tentena Kamis 11 November 2022. Pernyataannya itu terus diulanginya hingga dua kali. Helpin berargumentasi, jika tanahnya yang hilang, maka itu adalah malapetaka bagi kehidupannya. Tanaman tidak bisa lagi ditanam, karena tanah tidak ada lagi.

Ditemui secara terpisah di bangunan Tambi (rumah adat Lore) yang berdiri mungil mengitari lokasi festival, Helpin mengaku kokoh dengan pendiriannya itu. Pasalnya, ia punya memori buruk soal bagaimana tanah-tanah yang dikuasai industri perkebunan dalam skala besar, membuat warga desa terasa menjadi ”tamu” di kampung sendiri.

Ia menceritakan di Desa Tiu kediamannya. Pada tahun 2013 perkebunan kebun sawit masuk di desanya. Sebagai warga yang sadar betul ancaman nyata industri perkebunan monokultur, ia bertekad akan melawan semampunya. Setidaknya kata dia, tidak akan menjual tanahnya semahal apa pun harga yang ditawarkan. Ia beruntung tidak tergoda untuk melepas tanah pertanian miliknya. Saat itu, setiap warga yang tanahnya masuk dalam areal perkebunan kompensasi senilai Rp2,5 juta. Ia sendiri mengaku tidak tertarik dengan skema itu.

Saat industri perkebunan sawit masuk, warga setempat diiming-iming bakal direkrut menjadi tenaga kerja di perusahaan. ”Janji itu betul. Tapi mereka direkrut jadi tenaga kerja kasar,” katanya mengenang. Warga menjadi pekerja untuk membongkar lahan. Saat perkebunan sudah berproduksi, tenaga kerja lokal tidak lagi dipakai. ”Saat ini tinggal 10 orang warga lokal yang bekerja di sana,” katanya.

Nenek dua cucu ini mengatakan, penolakannya terhadap industri perkebunan itu, juga adanya kekhawatiran merosotnya air Danau Toju – satu-satunya danau sumber penghidupan mereka di desa itu. Kini, tigabelas tahun kemudian kekhawatiran itu terbukti. Air Danau Toju telah berkurang drastis. Danau yang menyediakan protein ikan air tawar di dalamnya telah berkurang jauh. ”Saya sudah mengingatkan. Ancaman itu sekarang ahirnya terbukti. Tapi saya tetap sedih Danau Toju tidak lagi seperti dulu,” ucapnya nelangsa.

CERITA DARI DESA – Helpin (kiri) bersama dua rekannya menjadikan Danau Toju sebagai ide cerita teater rakyat yang ditampilkan di panggung Festival Mosintuwu 2022, pada Kamis 11 November 2022.

Maka sebagai refleksi kegundahannya, bersama dua rekannya, Helpin menjadikan Danau Toju sebagai tema cerita pada lakon teater rakyat yang berlangsung di panggung utama festival, pada malam 11 November 2022. Panitia mengganjar cerita teater rakyat itu dengan penghargaan, yang dia terima pada malam puncak 12 November 2022.

Dari mana energi ”perlawanan” itu ia dapatkan. Sekolah Perempuan yang pernah diikutinya, diakui Helpin memberi dia kesadaran baru soal daulat tanah dan pangan yang berbasis desa. Selain itu, ia pernah menonton film pendek tentang peristiwa Mesuji. Film itu menurutnya semakin menguatkan kesadarannya soal bagaimana tanah harus dijaga. Diperjuangkan. Bahkan dipertahankan.

Dilansir dari tirto.id, peristiwa Mesuji adalah bentrok antar kelompok warga yang dipicu rebutan lahan. Film itu makin memicu ketidaksukaannya, pada perusahaan perampas lahan. Ia bahkan tidak pernah menginjakan kakinya areal perkebunan milik korporasi yang bermarkas di Jakarta itu. Kesadaran itu yang membuatnya kokoh mempertahankan tanahnya, seperti yang kemukakannya dengan lantang di depan Staf Ahli Kementan – sore tadi. ***

Penulis    : Amanda
Foto         : Amanda, Ray Rarea

 

Tinggalkan Balasan