DIIRINGI rintik hujan, tembang lawas milik Endang Soekamti bertitel, Sampai Jumpa, membelah langit malam Kota Palu. Lirik yang menggambarkan kegundahan hati ditinggal orang-orang terbaik, serempak membahana, bersamaan usainya untaian doa belasungkawa. Lagu ini mewakili perasaan mereka yang merasa kehilangan rekan sesama fans bola, pada tragedi mematikan di Stadion Kanjuruhan – Malang, 1 Oktober 2022.
Usai Sampai Jumpa, giliran lagu suporter Arema FC, Tanah Kejayaan terdengar nyaring, mengalahkan suara pekak knalpot di sisi jalan. Disusul kemudian lagu yang menggambarkan heroisme pendukung fanatik, berjudul Tinggalkan Ayah, Tinggalkan Ibu. Hujan yang berangsur deras bercampur peluh membasuh tubuh para fans lincah nan energik itu. Sambil membentangkan spanduk, mengerek bendera Persipal, berpegangan bahu menatap langit dengan hujan yang terus tercurah, mereka terus mengulang-ulang, chorus Tinggalkan Ayah, Tinggalkan Ibu.
Tinggalkan ras tinggalkan suku
Satu tekad dukung arema
Di bawah bendera singo edan
Ayo maju ayo maju aremaku
Jangan kembali pulang
Sebelum arema menang
Walau harus mati di tengah lapang
Arema teruslah berjuang………
Prosesi tabur bunga dan nyala 1.000 lilin dari Komunitas Suporter Persipal Mania, dipusatkan disimpul teramai Kota Palu, Tugu Nol Kilometer, Jalan Jenderal Sudirman, Palu Timur, tadi malam, Senin 3 Oktober 2022. Aksi ini sebagai bentuk solidaritas atas tewasnya 125 suporter tuan rumah. Versi suporter Arema per 3 Oktober 2022, jumlah korban di atas 200 orang.
Di atas kain putih yang membentang di aspal hitam, sejumlah coretan tentang kemarahan, kerisauan dan pernyataan-pernyataan retoris tentang peristiwa yang memukul wajah sepakbola Indonesia di mata dunia itu, tertulis dengan tatakan huruf kapital yang mencolok. ‘’Tiket Tidak Bisa Ditukar dengan Nyawa. Tidak Ada Nyawa yang lebih penting dari Sepakbola,’’ demikian antara lain tulisan kerisauan itu.
Seorang gadis belia, memegang kembang melati segar di tangan kanannya. Dan lilin yang sedang menyala di tangan kirinya. Bibir mungilnya tampak mengaminkan setiap lafaz doa yang dibacakan seorang imam yang berdiri semeteran di depannya. Ia mengaku datang bersama kawannya dari Jalan Veteran.
Ditanya gemar sepakbola, ia menggeleng.
Ikut gebetan ke acara itu? Ia terus menggeleng.
Apakah ada tim sepakbola favorit?, lagi-lagi ia menggeleng.
Kenal Cristiano Ronaldo? ia menggangguk pelan.
Kenal Messi?, seulas senyum mengembang dari wajah dengan bulir-bulir air hujan di wajah ovalnya.
Pelajar kelas 1 SMA ini, mengaku tidak hobi sepakbola. Namun tragedi yang diikutinya di media sosialnya ikut memukul sisi terdalam kemanusiaannya. Karena alasan itupula ia bertekad datang bersama komunitas suporter Persipal di Tugu Titik Nol. Mengirim doa solidaritas untuk orang-orang yang meregang nyawa di malam naas itu.
Ketua Umum Asprov PSSI Sulawesi Tengah Hadianto Rasyid mengaku tidak menduga atas kejadian itu. “Kita terhenyak. Kita kaget. Kita tidak pernah menduga tragedi itu terjadi di Indonesia,” kata Hadianto di depan ratusan suporter Persipal.
Menurut dia orangtua mengajari untuk saling menghargai. Saling menyayangi dan kemudian mengingatkan dan menguatkan tentang persaudaraan. “Mari kita berdoa agar mereka yang jadi korban pada tragedi Kanjuruhan semoga mereka diterima di sisi Allah,” pintanya.
Ketua Persipal Mania, Vidi Zulkarnain mengaku, aksi yang dilakukannya adalah doa belasungkawa untuk Aremania dan Aremanita yang gugur pada tragedi di Stadion Kanjuruhan. Tidak ada tuntutan apa pun pada para pihak yang disuarakannya malam itu. Selain doa tabur bunga dan menyalahkan 1.000 lilin sebagai refleksi luka yang dalam atas peristiwa ini.
SEJARAH KELAM SEPAKBOLA INDONESIA
Untuk sejarah kelam sepak bola, peristiwa ini mengalahkan tragedi Heysel ketika Liverpool bertemu Juventus di final Piala Champion, di tahun 1985. Peristiwa menyebabkan 39 orang meninggal. Tragedi Kanjuruhan juga jauh lebih besar dari tragedi Hillsborough 15 April 1989. Yang sampai sekarang, hampir 35 tahun kemudian, masih terasa ngerinya. Meninggal 96 orang. Yakni saat final piala FA Inggris antara Liverpool vs Nottingham Forest di kota Sheffield. Tragedi di Stadion Kanjuruhan adalah angka terbesar kedua di dunia, setelah tragedi Estadio Nacional, Peru, pada 1964 yang menewaskan 328 orang.
Selama ini sepakbola Indonesia seolah tak henti dirundung masalah. Mulai mafia wasit di PSSI, uang saku pemain yang telat bayar, maupun rentetan perilaku supporter disetiap gelaran kompetisi. Melihat semua ini, tampaknya sepakbola Indonesia adalah juara dunia dari sisi tragedinya. Begitu Dahlan Iskan salah satu tokoh penting Persebaya dalam coretannya.
Malam tadi di Tugu Titik Nol, semua orang sepakat pertandingan Arema FC dan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, sebagai peringatan keras bagi Indonesia soal keamanan pertandingan, pemain sepak bola, serta penontonnya. Semua yang hadir pada aksi solidaritas malam ini, pulang dengan pertanyaan menggantung. Apa yang salah dan apa yang bisa diperbaiki dari tragedi mematikan ini?
Pilihan tempat bagi ratusan Anggota Persipal Mania Tugu Titik Nol, sebenarnya bukan kebetulan belaka. Ada pesan kuat dari masyarakat sepakbola di daerah ini, bahwa sepakbola Indonesia harus direset ke titik Nol. Sudah terlalu banyak nyawa melayang sia-sia. Cukup. ***
Penulis: Amanda
Foto-foto: Amanda