PALU — Salwa melirik ke arah rekannya yang duduk di kursi plastik hijau, di bawah rindangnya pohon Lamtoro. Mereka sedang berkumpul di dekat hunian sementara (huntara) Gawalise, Kelurahan Duyu, Palu, Kamis, 7 Februari 2018.
Awalnya ia agak ragu-ragu. Namun tiba-tiba keberanian itu datang. Sambil merapikan jilbabnya yang diterpa angin, Salwa lalu bercerita tentang yang cukup mengusiknya selama tinggal di huntara bersama keluarganya.
“Begini bu, biasanya tidak ada air. Jadi kalau kita mau beol, atau buang air besar, kita lari ke saluran irigasi,” ujarnya yang disambut gelak tawa rekannya sesama pengungsi yang berdiam di huntara itu.
Meski tergelak, rekannya pun membenarkan pengakuan Salwa. “Iya betul bu, bagaimana kalau sudah mau sekali keluar, terus tidak ada air. Tidak mungkin mau buang air besar di wc, jadi kita pergi ke saluran irigasi,” timpal ibu lainnya. Mereka menyatakan keluhan itu di depan tim Jejaring Mitra Kemanusiaan (JMK) yang sedang mensosialisasikan program bertajuk Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Di lokasi itu memang terdapat saluran kecil yang oleh warga setempat disebutnya sebagai saluran irigasi. Airnya mengalir meskipun dengan debit yang relatif kecil. Irigasi itulah yang sering menjadi tumpuan penghuni huntara Gawalise. Sebab kebutuhan air selalu kurang. Ini adalah problem lama yang tak kunjung tertuntaskan.
Pengakuan Salwa dan rekan-rekannya itu dicatat oleh salah seorang anggota JMK STBM dari Oxfam pada selembar kertas yang dijepitkan di sebuah papan tulis. Kertas itu mulai penuh dengan catatan keluhan warga, terutama soal sanitasi.
Asisten Promosi Kesehatan Masyarakat, Fitha Yarsih menjelaskan, STBM yang digelarnya itu adalah implementasi program JMK melalui Divis Air Oxfam. “Kami melihat di huntara Duyu ini ada persoalan sanitasi sehingga kami memilihnya sebagai tempat implmentasi program,” ujar Fitha.
Dalam program STBM tersebut, warga diundang untuk hadir dan diminta mengungkapkan berbagai persoalan yang dihadapi terutama terkait dengan masalah sanitasi. Mulai masalah apa yang dihadapi, bagaimana kondisinya, dan seperti apa solusinya. “Semuanya berbasis masyarakat,” sebutnya.
Sementara itu, Officer Public Health Promotion Oxfam-Wash, Septi mengungkapkan, program itu juga diimplementasikan di sejumlah shelter pengungsian lainnya di Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong.
Septi menjelaskan, program itu sebenarnya bertujuan pada upaya untuk mengubah perilaku warga, terutama yang berdiam di huntara agar menjadi lebih sadar tentang lingkungan dan kesehatan.
Menurutnya, banyak hal yang bisa jadi memaksa seseorang untuk mengabaikan faktor kebersihan, terutama apabila kondisi dan fasilitas yang tersedia di huntara cukup terbatas. “Faktor-faktor inilah yang kita carikan solusi, tentu dilakukan bersama warga,” katanya.
Setiap persoalan lanjutnya akan dicarikan solusinya termasuk dibuatkan rencana tindak lanjut.
“Bisa jadi rencana tindak lanjut yang dirumuskan akan diteruskan atau diambil alih oleh bagian engineering, apakah membuat bangunan secara fisik atau rekayasa infrastruktur, tergantung rencana tindak lanjut tersebut,” urainya.
Matahari sudah mulai meninggi, namun Salwa masih dengan antusias mengikuti program tersebut. Ia berharap, masalah yang mengusiknya segera mendapatkan solusi.***
Penulis dan Foto: Basri Marzuki
Editor: Ika Ningtyas
artikel ini adalah republikasi dari web kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018